Kamis, 07 April 2011

UNSUR INTRINSIK PROSA

Unsur Intrinsik Prosa Unsur Intrinsik Prosa : unsur yang terdapat dalam prosa. Unsur Intrinsik Prosa meliputi : - Tema - Penokohan - Latar - Alur - Amanat - Gaya bahasa - Sudut pandang

TEMA :
TEMA Tema adalah : Gagasan ide / pikiran utama di dalam sebuah karya sastra. Contoh tema : “Pagi,Cepatlah Datang.” “Cinta Pertama.” “Rumah Pohon.” “Lukisan Sang Dewi.” Dan sebagainya…

2. PENOKOHAN :
2. PENOKOHAN Penokohan adalah : Pemberian watak terhadap pelaku-pelaku cerita dalam sebuah karya sastra. Tokoh Cerita terdiri atas : Tokoh Protagonis : tokoh dalam karya sastra yang memegang peranan baik. Tokoh Antagonis : tokoh dalam karya sastra yang merupakan penantang dari tokoh utama,biasanya memegang peranan jahat. Tokoh Tambahan : tokoh yang tidak memegang peranan dan tidak mengucapkan sepatah katapun, bahkan dianggap tidak penting sebagai individu.

3. LATAR / SETTING :
3. LATAR / SETTING Latar / setting : bagian dari sebuah prosa yang isinya melukiskan tempat cerita terjadi dan menjeaskan kapan cerita itu berlaku. Macam-macam Setting : - Tempat : di rumah, di sekolah, di jalan. - Waktu : pagi hari, siang hari, sore hari. - Suasana : sedih, senang, tegang.

4. ALUR :
4. ALUR Alur : rangkaian peristiwa / jalinan cerita dari awal sampai kimaks serta penyelesaian. Macam-macam Alur : - Alur mundur : jalinan peristiwa dari masa kini ke masa lalu. - Alur maju : jalinan peristiwa dari masa lalu ke masa kini - Alur gabungan : gabungan dari alur maju dan alur mundur secara bersama-sama.

Dan secara umum Alur terbagi ke dalam bagian-bagian berikut; :
Dan secara umum Alur terbagi ke dalam bagian-bagian berikut; Pengenalan situasi : memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antar tokoh. Pengungkapan peristiwa : mengungkap peristiwa yang menimbulakan berbagai masalah. Menuju adanya konflik : terjadi peningkatan perhatian ataupun keterlibatan situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

Slide 9:
Puncak konflik : dapat disebut juga klimaks, dan pada bagian ini dapat ditentukan perubahan nasib beberapa tokoh. Penyelesaian : sebagai akhir cerita dan berisi penjelasan tentang nasib para tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak.

5. AMANAT :
5. AMANAT Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang terhadap pembaca melalui karyanya, yang akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarang dalam keseluruhan cerita.

6. GAYA BAHASA :
6. GAYA BAHASA Gaya bahasa : bahasa yang digunakan pengarang dalam menulis cerita yang berfungsi untuk menciptakan hubungan antara sesama tokoh dan dapat menimbulkan suasana yang tepat guna, adegan seram, cinta ataupun peperangan maupun harapan.

7. SUDUT PANDANG :
7. SUDUT PANDANG Sudut pandang : pandangan pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Macam-macam sudut pandang : - Orang pertama : pengarang menjadi pelaku utama dan memakai istilah “Aku” dan “Saya”. - Orang ketiga : pengarang yang menceritakan ceritanya atau berperan sebagai pengamat dan menggunakan itilah “Dia”,”Ia”,atau nama orang.

B. Unsur Ekstrinsik Prosa :
B. Unsur Ekstrinsik Prosa Unsur Ekstrinsik : Unsur yang terdapat di luar karya sastra. Unsur Ekstrinsik Prosa meliputi : - Norma : aturan yang digunakan si pengarang dalam menulis Prosa. - Biografi Pengarang : daftar riwayat hidup si pengarang.

Bahasa

A. Bahasa
Soekono (91984 :1) berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat yang berupa bunyi suara. Maksud dari pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia lainnya. Dengan demikian dapat di katakan bahwa manusia tidak dapat berinteraksi satu sama lain tanpa adanya bahasa.
Keraf (1995 : 1:2) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi, yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Pendapat tersebut menyatakan bahwa bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi berupa lambang bunyi ujaran yang mempunyai makna dan arti. Dengan demikian, dapat di katakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi manusia yang berupa lamnbang bunyi ujaran, yang memiliki makna dan arti.
Chaer (1995 : 159) mangatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan. Maksud pernyataan tersebut menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem yang tersusun menurut pola-pola tertentu dan terdiri atas beberapa kaidah yakni kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis.

B. Interferensi Bahasa
Chaer (1995 : 159) mengatakan bahwa interferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Pernyataan tersebut pada dasamya menyatakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa akibat adanya pengaruh bahasa lain.
Interferensi merupakan salah satu gejala yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa karena adanya dua system bahasa yang dikuasai. Yakni bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua. Seseorang yang menguasai dua bahasa (dwi bahasa) dalam berbahasa kedua sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa pertama. Jadi bahasa pertama berinterferensi pada bahasa kedua. Interferensi lebih bersifat individual.
Interferensi yang terjadi berupa pengucapan baik secara lisan maupun tulisan. Interferensi bahasa lisan terdapat dalam ujaran seorang dwi bahasa, akibat penguasaan bahasa pertama. Penutur bilingual menggunakan dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penutur memiliki variasi bahasa. Ada penutur yang menguasai Bl dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak, serta ada pula yang kemampuan B2-nya sangat minim. Penuturan bilingual yang mempunyai kemampuan bahasa pertama (Bl) dan bahasa kedua (B2) sama baiknya tentu tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan (kemampuan bahasa sejajar), sedangkan yang mempunyai kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah (tidak sama) dari kemampuan Bl-nya disebut kemampuan bahasa majemuk (Chaer, 1995:159). Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena dipengaruhi oleh kemampuan B1 -nya.
Interferensinya terjadi pada beberapa bidang kebahasaan yaitu bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis.

C. Fonologi
1.1 Klasifikasi Vokal (Bahasa Toraja)
Bunyi vocal biasanya di klasifikasikan dan di beri nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertical dan biasa bersifat horizontal. Secara vertical di bedakan adanya vokal tinggi misalnya bunyi {i} dan {«} : vocal tengah , misalnya bunyi {e} dan {9} dan vocal rendah, misalnya bunyi {a}, secara horizontal di bedakan adanya vocal depan, misalnya bunyi {/} dan {e} vocal pusat, misalnya bunyi {3} dan vocal belakang, misalnya bunyi {M} dan {o}. Kemudian menurut bentuk mulut di bedakan adanya vocal bundar dan vocal tak bundar. Di sebut vocal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya vocal {o} dan {«}. di sebut vocal tak bundar karena bentuk mulut tak membundar, melainkan melebar ketika mengucapkan vocal tersebut, misalnya vocal {/’} dan {e} (Chaer, 1993:113).
1.2 Klasifikasi Vocal (Bahasa Toraja)
Klasifikasi vocal bahasa Toraja bertujuan untuk member! gambaran mengenai posisi ata tempat setoap fonem di wilayah alat-alat ucap berdasarkan pembentuknya,yaitu alat ucap mana yang aktif dalam proses terjadinya bunyi-bunyi vocal itu. Fonem vocal dalam bahasa Toraja sebanyak lima buah, yakni {i}, {u}, {e}, {o}, dan {a}.
Selain itu bahasa Toraja yang memiliki rangkaian vocal, baik itu rangkaian vokal yang sama (kembar) maupun rangkaian vocal yang berbeda
1.2.1 Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Konsonan adalah bunyi ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan (Keraf, 1990 ; 25). Berikut klarifikasi konsonan dalam bahasa Indonesia.
1.2.2 Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Bahasa Toraja memiliki tujuh belas konsonan termasuk satu konsonan serapan yaitu (c) (sande, 1990 : 47).
Bahasa toraja juga memiliki rangkaian konsonan yang di namakan konsonan kembar (geminate). Rangkaian ini memiliki ciri spesifik dan unik dalam bahasa toraja karena secara fonetis merupakan bunyi panjang yang kelihatannya sebagai suatu konsonan terdiri (Sander, 1990:55)

D. Morfologi
Ramlan (2001:21) mendefinisikan morfologi sebagai bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata baik secara gramatukal maupun leksikal. Ramlan mengatakan bahwa perubahan-prubahan bentuk kata terjadi padabentuk dasar yang mengikutinya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada afiksasi dan reduplikasi. Komponen tersebut juga terjadi pada interferensi bahasa.
1. Afiksasi
Afiks atau imbuhan ada tiga, yakni imbuhan awal, imbuhan tengah, dan imbuhan akhir (Soekono, 198:92).
a. Imbuhan awal
1. Awalan / perfiks : me-, her-, di-, ter-, pe-, per-, se-, ke-
2. Prokilis : ku, kau
b. Imbuhan tengah Sisipan / infiks : -el-, -em-, -er-,
c. Imbuhan akhir
1. Akhiran / supfiks : -/, -kan, -an, -man, -wan, -wati, -is
2. Partikel : -lah, -kah, -tah, -pun
3. Eknis : -ku, -mu, -dal, -ndal, -anda
d. Konfiks : ke-an, me-kan, mem-per-i, mem-per-kan, di-i, di-kan, di-per-i, di-per- kan.
2. Reduplikasi
Mansoer (1996:143) menjelaskan adanya bentuk ulang dan bentuk ulang kata. Ulangan kata adalah kata yang di ulang-ulang, misalnya “mana,mana yang kau maksud?” kalinat tersebut terdapat kata ‘mantf yang diulang beberapa kali. Sedangkan kata ‘mand’ dalam kalimat “mana-mana yang kau sukai, ambil saja”. adalah kata ulang yang menyatakan benda atau bahan apa saja kata ulang (reduplikasi) adalah proses morfemis yang megulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 1994:182).

£. Sintaksis
Sintaksis merupakan bidang tataran linguistic yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsure-unsur lain sebagai satuan. Objek kajian sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
1. Frasa
Frasa merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya (kreaft, 1991: 175).
Setiap frasa memiliki satu unsur yang di sebut inti atau pusat, sedangkan unsur yang lain menjadi penjelas atau pembatas, misalnya: petani muda, tepi sawah, lereng gunung. Kata ‘petani’, ‘tepi’, ‘lereng’, adalah inti atau pusat, sedangkan kata ‘muda”, ‘sawah’, ‘gunung’, adalah unsur penjelas atau pembatasnya.
2. Klausa
Klausa adalah sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi prodikatif. Artinya, di adalam konstruksi itu ada komponen lain yang berfungsi sebagai subjek, sebgai objek, dan keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek boleh di katakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib (chaer, 1994:231). Misalnya ‘kamar mandi’ dan ‘adik mandi’. Konstruksi ‘kamar mandi’ bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen ‘kamar’ dan ; ‘mandi’ tidak bersifat perdikatif. Sedangkan konsruksi ‘nenek mandi’ adalah klausa karena hubungan komponen ‘nenek’ dan ‘mandi ‘ bersifat predikatif; ‘nenek’ adalah subjak dan ‘mandi’ pengisi predikat.

3. Kalimat
Bahasa dalam setiap hari, sering terjadi hubungan antar kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan antara kata-kata dapat menimbulkan kelompok kata atau kalimat. Kelompok kata merupakan bagian kalimat, tetapi tidak semua kelompok kata dapat di namai kalimat (Soekono, 1984:231). 

Selasa, 05 April 2011

Kata Mutiara Motivasi Hidup

Pesan dalam kumpulan kata-kata mutiara Motivasi Hidup ini tidak akan pernah menyentuh jiwa yang kerdil, pemalas, pesimis, mudah patah semangat, tidak percaya diri, serta tidak memiliki cita-cita!
  1. Hanya mereka yang berani gagal dapat meraih keberhasilan (Robert F. Kennedy)
  2. Setiap pria dan wanita sukses adalah pemimpi-pemimpi besar. Mereka berimajinasi tentang masa depan mereka, berbuat sebaik mungkin dalam setiap hal, dan bekerja setiap hari menuju visi jauh ke depan yang menjadi tujuan mereka (Brian Tracy)
  3. Percayalah pada keajaiban, tapi jangan tergantung padanya (H. Jackson Brown, Jr)
  4. Rayulah aku, dan aku mungkin tak mempercayaimu. Kritiklah aku, dan mungkin aku tak menyukaimu. Acuhkan aku, dan aku mungkin tak memaafkanmu. Semangatilah aku, dan aku mungkin takkan melupakanmu (William Arthur)
  5. Jika Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga  membuat dia berbahagia dua puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu (Sydney Smith)
  6. Manusia yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu mencari teman. Namun yang lebih lemah dari itu adalah orang yang mendapatkan banyak teman tetapi menyia-nyiakannya. (Ali bin Abi Thalib)
  7. Jangan segan untuk mengulurkan tangan Anda. Tetapi, jangan juga segan untuk menjabat tangan orang lain yang datang pada Anda (Pope John XXIII)
  8. Alam memberi kita satu lidah, akan tetapi memberi kita dua telinga, agar kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara (La Rouchefoucauld)
  9. Sahabat paling baik dari kebenaran adalah waktu, musuhnya yang paling besar adalah prasangka, dan pengiringnya yang paling setia adalah kerendahan hati (Caleb CC.)
  10. Kebahagiaan tergantung pada apa yang dapat Anda berikan, bukan pada apa yang Anda peroleh (Mohandas Ghandi)
  11. Kegagalan tidak diukur dari apa yang telah Anda raih, namun kegagalan yang telah Anda hadapi, dan keberanian yang membuat Anda  tetap berjuang melawan rintangan yang bertubi-tubi (Orison Swett Marden)
  12. Dan bahwa setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan, guna memperkaya kehidupan itu sendiri. Karena tiada kata akhir untuk belajar seperti juga tiada kata akhir untuk kehidupan (Annemarie S.)
  13. Urusan kita dalam kehidupan bukanlah untuk melampaui orang lain, tetapi untuk melampaui diri sendiri, untuk memecahkan rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini (Stuart B. Johnson)
  14. Saya telah mempelajari kehidupan pria-pria besar dan wanita-wanita terkenal, dan saya menemukan bahwa mereka yang mencapai puncak keberhasilan adalah mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ada di hadapan mereka dengan segenap tenaga, semangat dan kerja keras (Harry S. Truman)
  15. Sebagian orang mengatakan kesempatan hanya datang satu kali, itu tidak benar. Kesempatan itu selalu datang, tetapi Anda harus siap menanggapinya (Louis L’amour)
  16. Kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab. Yakni orang yang berpikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tapi tidak pernah berpikir (W.A. Nance)
  17. Kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan adalah kepastian bahwa Anda dicintai apa adanya, atau lebih tepatnya dicintai walaupun Anda seperti diri Anda adanya (Victor Hugo)
  18. Jika kita memulainya dengan kepastian, kita akan berakhir dalam keraguan, tetapi jika kita memulainya dengan keraguan, dan bersabar menghadapinya, kita akan berakhir dalam kepastian (Francis Bacon)
  19. Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran (James Thurber)
  20. Orang-orang menjadi begitu luar biasa ketika mereka mulai berpikir bahwa mereka bisa melakukan sesuatu. Saat mereka percaya pada diri mereka sendiri, mereka memiliki rahasia kesuksesan yang pertama (Norman Vincent Peale)
  21. Kebahagiaan akan tumbuh berkembang manakala Anda membantu orang lain. Namun bilamana Anda tidak mencoba membantu sesama, kebahagiaan akan layu dan mengering. Kebahagiaan bagaikan sebuah tanaman, harus disirami tiap hari dengan sikap dan tindakan memberi (J. Donald Walters)
  22. Sedikit sekali orang yang memiliki hartanya sendiri. Hartalah yang memiliki mereka (Robert G. Ingersoll)
  23. Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah. Hidup adalah sebuah nyanyian, maka nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup adalah cinta, maka nikmatilah (Bhagawan Sri Sthya Sai Baba)
  24. Orang yang bahagia bukanlah pada lingkungan tertentu, melainkan orang dengan sikap-sikap tertentu (Hugh Downs)
  25. Jangan takut untuk mengambil satu langkah besar bila memang itu diperlukan. Anda tak akan bisa melompati jurang dengan dua lompatan kecil (David Lloyd George)
  26. Tak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras dan mau belajar dari kegagalan (General Collin Power)
  27. Kita menilai diri kita dengan mengukur dari apa yang kita rasa mampu untuk kerjakan, orang lain mengukur kita dengan mengukur dari adap yang telah kita lakukan (Henry Wadsworth Longfellow)
  28. Pengalaman bukan apa yang terjadi pada Anda, melainkan apa yang Anda lakukan atas apa yang terjadi pada Anda (Aldous Huxley)
  29. Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak, dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi (Jawaharlal Nehru)
  30. Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan (Confusius)
  31. Kita tidak tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagia hari ini (Samuel Taylor Colleridge)
  32. Amatlah sedikit yang diperlukan untuk membuat suatu kehidupan yang membahagiakan, semuanya ada di dalam diri Anda, yaitu di dalam cara berpikir dan bersikap (Fred Corbett)
  33. Kesalahan terbesar yang dibuat manusia dalam kehidupannya adalah terus-menerus merasa takut bahwa mereka akan melakukan kesalahan (Elbert Hubbad)
  34. Kebanggan kita yang terbesar bukan karena tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kita jatuh (Confusius)
  35. Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan, dan saya percaya pada diri saya sendiri (Muhammad Ali)
  36. Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan, saat mereka menyerah (Thomas Alfa Edison)
  37. Semua orang tidak perlu malu karena berbuat kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana dari sebelumnya (Alexander Pope)
  38. Kita berdoa jika kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita juga berdoa dalam kegembiraan besar dan rezeki melimpah (Khalil Gibran)
  39. Bagian terbaik dari seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain (William Wordsworth)
  40. Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya, hidup di tepi jalan dan dilempari dengan batu, tapi membalas dengan buah (Abu Bakar Sibli)
  41. Apabila kamu tidak bisa berbuat kebaikan kepada orang lain dengan kekayaanmu, maka berilah mereka kebaikan dengan wajahmu yang berseri-seri, disertai akhlak yang baik (Nabi Muhammad Saw.)
  42. Keramahtamahan dalam perkataan menciptakan keyakinan, keramahtamahan dalam pemikiran menciptakan kedamaian, keramahtamahan dalam memberi menciptakan kasih (Lao Tse)
  43. Kaca, porselen, dan nama baik, adalah sesuatu yang gampang sekali pecah, dan tak akan dapat direkatkan kembali tanpa bekas yang nampak (Benjamin Franklin)
  44. Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada di atas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada di atas kepala orang lain (Thomas Hardy)
  45. Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putusnya dipukul ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kukuh, bahkan ia menentramkan amarah dan gelombang itu (Marcus Aurelius)
  46. Karena manusia cinta akan dirinya, tersembunyilah baginya aib dirinya. Tidak kelihatan olehnya walaupun nyata.  Kecil di pandangnya walau bagaimana pun besarnya (Jalinus At Thabib)
  47. Jika orang berpegang pada keyakinan, maka hilanglah kesangsian. Tetapi, jika semua orang mulai berpegang pada kesangsian, maka hilanglah keyakinan (Sir Francis Bacon)
  48. Perbuatan-perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tetapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya  yang menimbulkan permusukan dan pengkhianatan (Johan Wolfgang Goethe)
  49. Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali nampak mustahil, kita baru yakin kalau kita telah melakukannya dengan baik (Evelyn Underhill)
  50. Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh (Andrew Jackson)
  51. Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki, tetapi kita menyesali apa yang belum kita capai (Schopenhauer)
  52. Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak (Aldus Huxley)
  53. Orang-orang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu inspirasi (Ernest Newman)
  54. Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup cukup lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri (Martin Vanbee)
  55. Dalam masalah hati nurani, pikiran pertama lah yang terbaik. Dalam masalah kebijaksanaan, pemikiran terakhirlah yang terbaik (Robert Hall)
  56. Cara untuk menjadi di depan adalah memulai sekarang. Jika memulai sekarang, tahun depan Anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui, dan Anda tidak akan mengetahui masa depan jika Anda menunggu (William Feather)
  57. Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika ia marah (Nabi Muhammad Saw.)
  58. Ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa berfikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai berfikir seperti komputer (Sydney Harris)
  59. Orang-orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dengan cara yang berbeda (Dale Carnegie)
  60. Hati yang penuh syukur bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari segala kebajikan yang lain (Cicero)
  61. Semua yang dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu (Benjamin Franklin)
  62. Apa yang nampak sebagai suatu kemurahan hati, sering sebenarnya tiada lain adalah ambisi yang terselubung, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan kecil untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang lebih besar (La Roucefoucauld)
  63. Tiga sifat manusia yang merusak adalah : kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan (Nabi Muhammad Saw.)
  64. Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari, dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri (Mary Mc Carthy)
  65. Kerendahan hati menuntun pada kekuatan, bukan kelemahan. Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri (John McCLoy)
  66. Apapun tugas hidup kita, lakukanlah dengan baik. Seseorang semestinya melakukan pekerjaannya sedemikian baik sehingga mereka yang masih hidup, yang sudah mati dan yang belum lahir tidak mampu melakukannya lebih baik lagi (Marthin Luther King)
  67. Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri (Bung Karno)
  68. Orang-orang yang gagal dibagi menjadi dua : mereka yang berpikir gagal padahal tidak pernah melakukannya, dan mereka yang melakukan kegagalan tapi tak pernah memikirkannya (John Charles Salak)
  69. Kegagalan adalah sesuatu yang bisa kita hindari dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa (Denis Waitley)
  70. Persahabatan adalah hal tersulit untuk dijelaskan di dunia ini. Dan, itu bukan soal yang Anda pelajari di sekolah. Tetapi, bila Anda tidak pernah belajar makna persahabatan, Anda benar-benar tidak belajar apa pun (Muhammad Ali)
  71. Kebaikan hati adalah ketidakmampuan untuk tetap tenteram jika ada orang lain yang merasa gelisah, ketidakmampuan merasa nyaman jika ada orang merasa tidak nyaman, ketidakmampuan untuk tetap berperasaan enak apabila seorang tetangga sedang gundah (Samuel H. Holdenson)
  72. Maafkanlah musuh-musuh Anda, tapi jangan pernah melupakan nama-namanya (John F. Kennedy)
  73. Hal terbaik yang bisa Anda lakukan untuk orang lain bukanlah membagikan kekayaan Anda, tetapi membantu ia untuk memiliki kekayaannya sendiri (Benjamin Disraeli)
  74. Ada dua macam manusia di dunia ini : mereka yang mencari alasan dan mereka yang mencari keberhasilan. Orang yang mencari alasan selalu mencari alasan mengapa pekerjaannya tidak selesai, dan orang yang mencari keberhasilan selalu mencari alasan mengapa pekerjaannya dapat terselesaikan (Alan Cohen)
  75. Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja, siapa tahu, pada suatu hari kelak, ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekedarnya saja, siapa tahu, pada suatu hari kelak, ia akan berbalik menjadi orang yang kau cintai (Imam Ali RA)
  76. Sebuah tong yang penuh dengan pengetahuan belum tentu sama nilainya dengan setetes budi (Phytagoras)
  77. Bila rahasia sebuah atom dari atom-atom tersingkap, rahasia segala benda ciptaan, baik lahir maupun batin akan tersingkap, dan kau takkan melihat pada dunia ini atau dunia yang akan datang kecuali Tuhan (Syaikh Ahmad Al-Alawi)
  78. Lebih baik menjaga mulut Anda tetap tertutup dan membiarkan orang lain menganggap Anda bodoh, daripada membuka mulut Anda dan menegaskan semua anggapan mereka (Mark Twain)
  79. Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki (Mahatma Ghandi)
  80. Hal terindah yang dapat kita alami adalah misteri. Misteri adalah sumber semua seni sejati dan semua ilmu pengetahuan (Albert Einstein)
  81. Orang-orang yang melontarkan kritik bagi kita pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran (Corni Ten Boom)
  82. Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain, tapi kita kehilangan semangat (Abraham Lincoln)
  83. Kata yang paling indah di bibir  umat manusia adalah kata “Ibu”, dan panggilan yang paling indah adalah “ibuku”. Ini adalah kata yang penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang keluar dari kedalaman hati. (Kahlil Gibran)
  84. Sahabatmu adalah kebutuhan jiwamu yang terpenuhi. Dialah ladang hatimu, yang dengan kasih kau taburi dan kau pungut buahnya penuh rasa terima kasih. Kau menghampirinya di kala hati gersang kelaparan, dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan kedamaian. Janganlah ada tujuan lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya jiwa (Kahlil Gibran)
  85. Seorang pecundang tak tahu apa yang dilakukannya bila kalah, tapi sesumbar apa yang dilakukannya bila menang. Sedangkan pemenang tak berbicara apa yang akan dilakukannya bila ia menang, tetapi tahu apa yang dilakukannya bila ia kalah (Eric Berne)
  86. Seekor burung hantu yang bijaksana duduk di sebatang dahan. Semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia berbicara. Semakin sedikit ia berbicara, semakin banyak ia mendengar. Mengapa kita tidak seperti burung hantu yang bijaksana itu? (Edward Hersey Richards)
  87. Pandanglah hari ini, kemarin sudah jadi mimpi. Dan esok hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini yang sungguh nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi kebahagiaan, dan setiap hari esok adalah visi harapan (Alexander Pope)
  88. Jadikan deritaku sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuatan Yang Maha Esa (Bung Karno)
  89. Ia akan datang, dan pergi. Seorang penguasa, pengemis atau pertapa – setiap orang yang lahir pasti mati. Menghembuskan nafas terakhir di atas tahta, atau diseret ke dalam kubur dengan tangan dan kaki terikat, apa bedanya? (Kabir)
  90. Satu-satunya yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri (Franklin D. Rosevelt)
  91. Saya melihat seorang pemecah batu sedang memukul sebongkah batu padas sampai seratus kali tanpa kelihatan retak sedikit pun. Tapi, pada pukulan ke seratus satu kali, batu itu pecah menjadi dua. Saya tahu bahwa bukan pukulan terakhir itu yang membelah batu, tapi semua pukulan yang sudah dilakukan sebelumnya (Jacob Riis)
  92. Jika Anda membiarkan sesuatu yang kecil berlalu, Anda akan menemukan kedamaian yang kecil juga. Jika Anda membiarkan lebih banyak hal berlalu, Anda akan meraih lebih banyak kedamaian. Jika Anda benar-benar membiarkan seluruhnya berlalu, Anda akan mendapatkan seluruh kedamaian (Ajahn Chah)
  93. Apa perbedaan antara hambatan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan. (J. Sidlow Baxter)
  94. Musisi harus menciptakan musik. Pelukis harus menggoreskan lukisannya. Penyair harus menulis sajaknya. Mereka harus melakukannya agar mencapai puncak kedamaian dalam diri mereka sendiri. Seseorang harus menjadi apa yang mereka bisa jadi (Abraham Maslow)
  95. Meski Anda menyembunyikan pikiran buruk dalam hati Anda, tetap akan terpancar kekuatan kelam. Pikiran cinta, meskipun tak mengucapkannya, maka dunia pun akan terasa lebih terang (Ella Wheeler Wilcox)
  96. Kadang-kadang anda dapat mengatasi sebuah situasi sulit hanya dengan bersedia memahami orang lain. Sering yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah mengetahui bahwa ada seorang lain yang peduli tentang bagaimana perasaannya dan berusaha memahami posisi mereka (Brian Tracy)
  97. Orang bijak adalah dia yang hari ini mengerjakan apa yang orang bodoh akan kerjakan tiga hari kemudian (Abdullah Ibnu Mubarak)
  98. Kesempatan Anda untuk sukses di setiap kondisi selalu dapat diukur oleh seberapa besar kepercayaan Anda pada diri sendiri (Robert Collier)
  99. Saya tak pernah menjumpai seseorang yang menderita karena terlalu banyak bekerja. Lebih banyak orang menderita karena terlalu banyak ambisi tetapi tak cukup berusaha (Dr. James Mantague)
  100. Nilai manusia, bukan bagaiman ia mati, melainkan bagaimana ia hidup. Bukan apa yang telah ia perolah, melainkan apa yang telah ia berikan. Bukan apa pangkatnya, melainkan apa yang telah diperbuat dengan tugas yang diberikan Tuha kepadanya (Ministry)
  101. Perhatikan perbedaan antara apa yang terjadi bila seseorang berkata, “Saya telah gagal tiga kali”, dan apa yang terjadi bila ia berkata, “Saya orang yang gagal”. (S. I. Hayakawa)
  102. Saat berbicara mode, berenanglah mengikuti arus. Saat berbicara prinsip, tegarlah seperti batu karang (Thomas Jefferson)
  103. Ada dua cara untuk menjalani hidup ini dengan mudah, percaya pada segala sesuatu atau meragukan segala sesuatu. Kedua cara tersebut membebaskan kita dari berfikir (Theodore Rubin)
  104. Hidup dengan melakukan kesalahan akan tampak lebih terhormat daripada selalu benar karena tidak melakukan apa-apa (George Bernard Shaw)
  105. Kegagalan adalah satu-satunya kesempatan untuk memulai lagi dengan lebih cerdik (Henry Ford)
  106. Apapun fakta yang ada di depan kita tidak lebih penting dari sikap kita dalam menghadapinya, karena itulah yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kita (Norman Vincent Peale)
  107. Anda adalah produk dari lingkungan Anda. Maka, pilihlah lingkungan terbaik bagi pengembangan Anda menuju tujuan-tujuan Anda. Analisalah hidup Anda melalui lingkaran Anda. Apakah hal-hal di sekitar Anda membatu Anda menuju sukses atau malah menahan Anda? (W. Clement Stone)
  108. Kita harus saling memaafkan dan kemudian melupakan apa yang telah kita maafkan (Andrew Jackson)
  109. Kebencian atau dendam tidak menyakiti orang yang tidak Anda sukai. Tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan Anda, perasaan itu menggerogoti Anda (Norman Vincent Peale)
  110. Jangan pernah berpisah tanpa ungkapan kasih sayang untuk dikenang. Mungkin saja perpisahan itu ternyata untuk selamanya (Jean Paul Reatcher)
  111. Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup. Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup (Norman Cousins)
  112. Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun. Yang lain dengan denyut jantung, gairah dan air mata. Tetapi ukuran sejati di bawah mentari adalah apa yang telah engkau lakukan dalam hidup ini untuk orang lain (Confusius)
  113. Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang kali. Dengan demikian, kecemerlangan bukan tindakan, tetapi kebiasaan (Aristoteles)
  114. Seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak dari pada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh dari pada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat (Leroy Eims)
  115. Jangan biarkan orang lain mempengaruhi ide dan keputusan Anda. Dalam lima tahun ke depan, Anda lah – bukan mereka – yang harus hidup dengan pilihan yang Anda buat (Sarah Brklacich)
  116. Bukalah mata sewaktu berjalan, karena bisa saja Anda akan bertemu kesempatan. Adapun kesempatan itu sendiri buta. Peganglah erat-erat, karena kesempatan datang dan pergi tanpa memberitahu (Anonim)
  117. Sifat cinta sama seperti sifat air dan tanah. Apabila Anda tidak cukup menggali, yang Anda peroleh adalah air yang keruh. Apabila Anda cukup menggali, yang Anda peroleh adalah air yang bersih dan jernih (Hazrat Inayat Khan)
  118. Tak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras dan mau belajar dari kegagalan (Gen Collin Powel)
  119. Kita datang ke dunia ini sendiri, dan sendiri pula kita meninggalkannya. Di antara pintu masuk dan pintu keluar, kita menghabiskan waktu lain untuk mencari persahabatan (E. M. Dooling)
  120. Mereka yang tidak bisa memaafkan orang lain menghancurkan jembatan yang akan dilewatinya (Confusius)
  121. Tuhan menganugerahi Anda wajah,  tapi kita harus memberikannya ekspresi (Anonim)
  122. Manusia tidak dirancang untuk gagal, tapi manusia-lah yang gagal untuk merancang (William J. Siegel)
  123. Hati Anda belum hidup kalau belum pernah mengalami rasa sakit. Rasa sakit karena cinta akan membuka hati, bahkan bila hati itu sekeras batu (Hazrat Inayat Khan)

ARTIKEL SOSIOLINGUISTIK


A. IDENTITAS BUKU
Judul buku : KAPITA SELEKTA SOSIOLINGUISTIK
Pengarang : Abd. Syukur Ibrahim
Penerbit : USAHA NASIONAL
Kota Terbit : SURABAYA- INDONESIA
Tahun Terbit : 1993

B. RINGKASAN ISI BUKU
BAB 1
Problematika Konsep Diglosia
Jika dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu ragam baku, maka dalam bahasa tertentu ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu.
Pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah (ditandai dengan R) dan ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T) dalam suatu kelompok masyarakat. Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat. Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi).
Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya. Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi sosial tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa benar-benar digunakan sesuai dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa Jawa misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra (termasuk tembang), sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko. Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang guru tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes. Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkakn atas topik pembicaraan, melainkan oleh siapa (golongan atau kelas) dan untuk siapa. Dalam masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi. Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39), pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Jika menurut Ferguson, diglosia itu mengacu kepada kondisi ‘dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai peran atau fungsi tertentu’, maka Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda.
Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula. Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan.

BAB 2
Ancangan Pemilihan Bahasa
Dari kenyataan yang ada baik dalam membimbing bahasa, mendapatkan bimbingan bahasa ataupun meneliti sendiri pada umumnya dasar pijakan awalnya pada ancangan penelitian bahasa. Apapun permasalahan yang akan diungkap selalu diarahkan pada salah satu ancangan. Karena paham positivisme sudah banyak merasuk ke dalam sistem keilmuan di negeri tercinta ini, maka pada umumnya mahasiswa digiring untuk menggunakan ancangan kuantitatif. Keadaan seperti ini masih mendingan, karena masih ada yang kurang memahami ancangan penelitian sehingga apabila dibaca laporannya tidak jelas ancangan apa yang digunakan.
Selain itu, faktor lain yang turut andil dalam ketidakjelasan ancangan penelitian yang digunakan ini adalah faktor kebijakan. Seperti kebijakan akademis (untuk menyusun skripsi, tesis atau desertasi) yang dikeluarkan jurusan atau fakultas yang meminta “judul penelitian” pada para mahasiswa yang akan menyusun skripsi. Karena pada dasarnya ancangan penelitian ini hanyalah sarana dan dasar pijak penelitian, maka mestinya, bukan judul yang diminta tetapi permasalahan, kerangka berfikir, dan tujuannya. Lebih lengkap lagi jika diminta judul disertai permasalahan, tujuan, manfaat, dan kerangka berfikir (alasan pemilihan judul).
Secara rasional tentunya harus ditentukan dulu benda yang menjadi perhatian, lalu tujuannya “ingin dapakan atau dibagaimanakan” benda tersebut, manfaatnya untuk apa (penting atau tidak) barulah menentukan alat apa yang akan digunakan untuk memperlakukan benda tersebut agar tujuan bisa tercapai. Dengan kata lain ketepatan ancangan yang digunakan tergantung kepada permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai.

BAB 3
Masyarakat Tutur
Tutur merupakan sebuah sistem atau istilah kekerabatan (Melalatoa, 1982:406). Sistem atau istilah kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Indonesia. Istilah lain dari tutur adalah bentuk sapaan. Bertutur sendiri berarti penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan tadi. Namun, dewasa ini, ada semacam gejala kurangnya penggunaan tutur. Dengan kata lain, pengguna tutur (masyarakat Indonesia) sudah mulai meninggalkan pemakaian tutur. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Indonesia, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Indonesia sendiri. Tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga).
Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Salah satu akibatnya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (model bertutur) tidak akan tercipta baik antar individu, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.
Kedua, faktor eksternal yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Suku ini merupakan sebuah masyarakat yang terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, sesuatu yang datang dari luar tadi, memungkinkan perubahan pada mind set (pola pikir), sikap (attitude) dan tindakan (pola tindak) masyarakat Gayo. Beberapa pengaruh dari luar tersebut, misalnya: penggunaan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia kini cukup meluas dalam masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam komunikasi lebih-lebih di kabupaten induk (Takengon). Dalam keluarga terutama di empat kecamatan seperti kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar dan kecamatan Pegasing, pemakaian bahasa Indonesia kerap dipakai. Heterogenitas budaya juga tercermin di keempat kecamatan di atas.

BAB 4
Kajian Bahasa dalam Kontekstual Sosial
Penelitian bahasa dalam lingkungan sosial telah tumbuh secara signifikan selama empat puluh tahun terakhir, dan sekarang mencakup kebanyakan bahasa dan wilayah di dunia. Sosiolinguistik meneliti hubungan antara bahasa dan masyarakat, antara menggunakan bahasa dan struktur sosial dimana pengguna bahasa hidup.
Sosiolinguis menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dalam mengumpulkan data mereka, tetapi semua mencoba menjawab beberapa bagian dari pertanyaan mendasar: yang berbicara bahasa apa, kepada siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa? kata pengantar ini membahas pengembangan dan aspek utama sosiolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu, dan menempatkan kasus Baltik dalam perspektif komparatif yang lebih luas. Dalam dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu memberikan kepada kita kilasan pertama ke dalam perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara kaum Analogis dan Anomalis (Bloomfield, 1995:2).
Bagaimanapun sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran-pemikiran yang muncul tentang bahasa menyadarkan kepada para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan namun pasti, mereka akhirnya menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan, namun penulis membatasinya menjadi lima saja.
a. Bahasa Sebagai Sistem
Hakikat ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini menjadi jelas setelah Kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa dan undangan. (Parera, 1991:36-37). Plato juga menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa (Parera, 1991:37).
Ide bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian digolongkan ke dalam “penghubung partikel”. Kata-kata lebih banyak bertugas dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika. Selain membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (Gender). Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum selesai dan sebagainya (Parera, 1991:37).
Keyakina bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik.
b. Bahasa Sebagai Lambang
Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer, 2007:39).
Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam (dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai  dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard.
c. Bahasa Adalah Bunyi
Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika. Kaum ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga aspek utama dari bahasa yaitu (1) tanda atau simbol yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa (2) makna, atau apa yang disebut lekton dan (3) hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut sebagai pragma (Parera, 1991:38). Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna.
d. Bahasa itu Bermakna
Penelitian sitematis tentang konsep  ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata.
Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif, genetif, datif, akusatif dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki makna finit dan infinit. (Parera, 1991:38).

e. Bahasa itu Universal
Kaum Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama De modis Sicnficandi. (Parera, 1991:46). Merekapun mengulang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal (Parera, 1991:46).
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.
C. Peranan Filsafat dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa
Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.

BAB 5
Kelas Sosial, Bahasa dan Sosiolisasi
Kelas sosial (sosial class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan terdidik.
1.Ragam bahasa kelas sosial
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran –kan yang dilafalkan –ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.
2.Peranan Labov
William Labov mengemukakan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.
3.Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu: Kelas Menengah Tinggi (KMT),Kelas Menengah Atas (KMA), Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM), Kelas pekerja bawah (KPB)
B. Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain penbawa gagasan (pikiran, saran, dan sebagainya) yang disampaikan pengirim (penutur) kepada penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal sebagai istilah semantik encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim.
Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu: Aspek linguistik, Aspek nonlinguistik atau paralinguistik,
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa.
Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea tau konsep).
Aspek paralinguistik mencakup:
Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya. Unsur supra segmental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi. Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan,anggukan kepala, dan sebagainya.
Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit). Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
C. Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
Jargon. Dalam “Thesaurus: Oxford Thesaurus of English” oleh Maurice Waite (2004) dinyatakan bahwa jargon adalah bahasa khas, teknis, idiom tertentu, selanga dan lain sebagainya. Menurut “The Oxford Companion to the English Language” oleh Tom McArthur (1996) istilah jargon ini muncul pada abad ke-14 yang merupakan istilah Bahasa Inggris Abad Pertengahan (Midle English) yaitu ”iargo(u)n”, “gargoun”, “girgoun” yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung, pembicaraan yang tidak bermakna, merepet /membual atau mericau.
Jargon ini juga terdapat dalam istilah Bahasa Perancis yaitu “jargoun”, “gargon” dan “gergon”. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo” dan merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing pedalaman yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang dirasakan sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong (mumbo jumbo), slang, bahasa pidgin atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok lainnya.
Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan dengan ilmu tertentu seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik. Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak berprofesi, penggunaan bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok professional tersebut, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mencapai matlamat yang sesungguhnya. Karena faktor kemudahan dan keakrabannya inilah, jargon dapat menggungkapkan teknis dan gaya yang menjadi ciri khas dalam kelompok tersebut.

BAB 6
Problematika Paragmatik Sosiolinguistik
Dalam bukunya tersebut, Schiffrin membahas konteks dalam kaitannya dengan berbagai teori, yaitu teori tindak tutur, pragmatik, sosiolinguistik interaksional, dan etnografi komunikasi. Teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks sebagai pengetahuan (berhubungan dalam linguistik maupun dalam kompetensi komunikasi), sedangkan sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi memandang konteks sebagai situasi (termasuk pengetahuan “di sini dan saat ini”) dan pengetahuan ihwal bentuk-bentuk umum situasi. Yule (1996) membahas konteks dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referan yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut Yule adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik dalam lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.
Mey (2001) berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan ketaksaan bahasa lisan atau tulis. Mey mendefiniskan konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti. Konteks berorientasi pada pengguna sehingga konteks dapat disangka berbeda dari satu pengguna ke pengguna lain, dari satu kelompok pengguna ke kelompok pengguna lain, dan dari satu bahasa ke bahasa lain. Mey menambahkan konteks lebih dari sekedar referen namun sebuah perbuatan/tindakan. Konteks adalah perihal pemahaman untuk apakah sesuatu itu. Konteks juga memberikan arti pragmatik yang sebenarnya dan membolehkan arti pragmatik yang sebenarnya menjadi tindak pragmatik yang sebenarnya. Konteks menjadi lebih penting tidak hanya untuk menilai referen dan implikatur yang pantas, tetapi juga dalam hubungan dengan isu pragmatik lainnya seperti tindak pragmatik dan praanggapan. Ciri konteks lain adalah fenomena register. Dengan register, petutur memahami bentuk-bentuk linguistik yang dipergunakan penutur untuk menandai sikap mereka terhadap mitra wicaranya. Yan Huang (2007: 13-14) membicarakan konteks dalam kaitannya dengan nosi dasar semantik dan pragmatik. Menurut Huang, konteks dipergunakan secara luas dalam kepustakaan linguistik, namun sulit untuk memberikan definisi yang tepat. Konteks dalam arti luas mungkin diartikan sebagai pengacuan terhadap ciri-ciri yang relevan dari latar yang dinamis atau dalam lingkungan tempat unit linguistik dipergunakan secara sistematis. Selanjutnya, konteks disusun atas tiga jenis, yaitu konteks fisik, konteks linguistik, dan konteks pengetahuan umum. Konteks fisik mengacu pada latar fisik sebuah tuturan.

Komentar
Dalam teori ini menurut para ahli sosiolinguistik memandang bahwa hakikat bahasa sebagai kajian objek mereka. Hakikat bahasa disini dapat dibagi menjadi dua yaitu interdisipliner dan disipliner. Interdisipliner memiliki sifat yakni makrolinguistik, kajian ini berorientasi pada faktor eksternal bahasa. Setelah berkembang kajian interdisipliner lebih mengarah ke sifat dinamika.
Sedangkan disipliner memiliki sifat mikrolingustik dan condong kearah sistem internal bahasa. Kajian bahasa memiliki sebuah perangkat yang terbagi atas langue dan parole dimana telah kita ketahui bahwa langue memiliki sifat abstrak dan parole bersifat kongkret. Keduanya akan membentuk dua asumsi dasar kajian bahasa yakni pertama, bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang dapat membentuk tata bahasa dan kedua, bahasa dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara cultural atau dipakai oleh sekelompok individu.
Buku ini layak dibaca berbagai kalangan namun sangat di khususkan bagi yang sedang dibadani dibagian pendidikan bahasa sastra Indonesia dan daerah,yakni guru, dosen, dan mahasiswa. dengan adanya buku ini, pembaca bisa memiliki berbagai pandangan mengenai bahasa yakni Problematika Konsep Diglosia, Ancangan Pemilihan Bahasa, Masyarakat Tutur, Kajian Bahasa dalam Kontekstual Sosial, Kelas Sosial, Bahasa dan Sosiolisasi, Problematika Paragmatik Sosiolinguistik.











ARTIKEL BAHASA JURNALISTIK

A. IDENTITAS ARTIKEL
Nama pengarang : Suroso
Judul artikel : bahasa jurnalistik
Tahun : 2009
Tebal : 11 hlm
B. RINGKASAN ISI ARTIKEL
1. PENGERTIAN
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Bahasa jurnalistik juga merupakan bahasa komu­nikasi massa sebagaimana tampak dalam koran (harian) dan majalah (mingguan). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bukan karya-karya opini (artikel dan esai). Oleh karena itu jika ada wartawan yang juga ingin menulis cerpen, esai, kritik, dan opini, maka karya-karya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai karya jurnalistik, karena karya-karya itu memiliki varian tersendiri.
2. Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indo­nesia baku:
1. 1. Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefik atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. 2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalisir dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konfliks Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis ecara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, suibversif, aktor intelektual, esktrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebsan pers seperti sekarang ini, kecen­derungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbagasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus.
Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda  menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai jurnalis yang pernah ber­sentuan dengan majalah Tempo.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data, setidaknya prisnip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan krena keterbatsan halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pema­kaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/penegertian makna yang berbeda, menghidnari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu).
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dn prinsip ekspresifitas.
1. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang,wacana jurnalistik di­konstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacna jurnalistik
. 4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-spek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausali­tas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya.
Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pemakaian BI Ragam Jurnalistik
1. Pemakaian kosakata bahasa Asing dan Bahasa Daerah tidak berlebihan.
2. Pemakaian BI ragam baku, berkaitan dengan masalah (a) penulisan Ejaan, singkatan, akronim, tanda baca, (b) tidak menghilangkan imbuhan, kecuali untuk judul berita, (c) menulis dengan kalimat-kalimat pendek.Pengutaraannya teratur dan logis.  Kalimat setidaknya menandung unsur  pokok dan sebutan (subjek, predikat, objek, dan keterangan)
3. Menjauhkan dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipaklai dalam transisi berita seperti kata-kata: sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka, dalam pada itu, dll.
4. Menghilangkan kata-kata mubazir seperti kata adalah (kata kerja kopula)bahwa (kata sambung) dll.
5. Menghidari kata-kata asing yang berbau teknis. Misalnya: mark-up, listing, dst
Kesalahan yang  Sering Dilakukan dalam Menulis BI Ragam Jurnalistik.
Pemakaian singkatan dan akronim yang tidak taat asas dan kurang berdisiplin.
1. Penggunaan Ejaan dan tanda baca yang kurang tepat
2. Penyerapan kata dan istilah asing yang kurang memperhatikan kaidah atau bahasa tulis bahasa Indonesia.
3. Susunan kalimat dan paragraf yang kurang baik.
4. Kurang setia dalam pemakaian dan penulisan kalimat efektif.
C. KOMENTAR
Melihat kepaduan dan perkembangan dunia jurnalistik, maka artikel ini sangat berguna bagi siapa saja, dan terutama yang membidani dunia jurnalistik, karena dalam artikel ini membahas tentang bagimana mengunakan bahasa jurnalistik yang tepat akurat, singkat dan padat agar pembaca mudah mengerti apa persoalan atau permasalahan yang kita sampaikan melalui bahasa tulis. Bahasa tulis merupakan bahasa ilmiah yang teratur dan terarah dibanding dengan bahasa linsan, oleh sebab itu sebelum kita melangka menulis berbagai tulisan yang terpendam dalam benak kita, kita perluh memperkaya kosa kata kita disamping menguasai stips-stips dan langka-langka menghasilkan sebuah artikel yang utuh. Maka disini saya ajak, bahwa siapa saja yang meningkatakan pengetahuan tentang dunia menulis, tengoklah artikel ini karena artikel ini sudah memenuhi sumber pustaka yang relevan.


Campur Kode dan Alih kode
A. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

B. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.

Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1. alih kode ekstern
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. alih kode intern
bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.

Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur
seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.

C. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.

Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type)
latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type)
latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,

1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.

Thelander membedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Artikel diakses oleh M. Wakhid Hidayat pada 2 Nopember  2010 dan untuk kepentingan rujukan ilmiah silahkan cantumkan sumber asli pada

















ALIH KODE, CAMPUR KODE DAN INTERFERENSI
Sebelum kita mengetahui mengenai hakekat alih kode dan campur kode, kita harus lebih paham benar konsep kode tersebut. Kode disini bukanlah kode yang mengarah ke unsur bahasa secara perspektif melainkan kode disini ialah varian yang terdapat dalam bahasa tersebut. Varian disini yang dimasudkan ialah tingkat-tingkat, gaya cerita dan gaya percakapan. Ada beberapa definisi hakekat mengenai alih kode tersebut, Scotton menganggap bahwa alih kode merupakan penggunaan dua varian atau varietas linguistik atau lebih dalam percakapan atau interaksi yang sama. Sedangkan Nababan berasumsi konsep alih kode ini mencakup juga kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke dialek yang lain. Sebagaimana kita bisa mencontohkan perlaihan yang terjadi dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, atau mungkin dari ragam resmi ke ragam yang tidak resmi atau sebaliknya. Dari contoh tersebut dapat kita tarik garis lurus, bahwa alih kode merupakan peralihan kode bahasa dalam satu peristiwa komunikasi verbal. Pola alih kode dapat kita bagi menjadi dua yanitu berdasar linguistik maupun partisipan. Pola linguistik terdapat pola alih kode intrabahasa, yang dalam pola itu terjadi pada varian dalam satu bahasa. Sedangkan yang kedua ialah pola alih kode antarbahasa, dalam pola ini pilihan kode beralih dari varian suatu bahasa ke bahasa lain. Jika dilihat dari partisipan dapat dibagi menjadi dua kembali yakni dimensi intrapartisipan dan dimensi antarpartisipan. Faktor yang mengakibatkan terjadinya alih bahasa sosial, individu dan topik. Faktor sosial dapat kita pilah antara penggunaan bahasa partisipan dan status sosial. Faktor individu seperti yang dikemukakan oleh Wojowasito dilandasi oleh spontanitas, emosi dan kesiapan, yang dimaksud kesiapan disini ialah kesiapan perbendaharaan kata dan kesiapan pola kalimat.
Menurut Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan disini dapat berbentuk kata, frasa atau unit bahasa yang lebih besar. Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal, dalam situasi formal terjadi hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam bahasa yang sedang digunakan. Perbedaan antara alih kode dengan campur kode ialah pertam alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan istilah code switching, sedangkan campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah kode mixing dalam bahasa Inggris. Kedua dalam alih kode ada kondisi yang menuntut penutur beralih kode, dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda. Pada campur kode yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, interferensi ialah Masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yg mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yg dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantis. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi yang pertama ialah faktor kontak bahasa disini bahasa-bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu saling berhubungan sehingga perlu digunakan alat pengungkap gagasan. Karena faktor tersebut maka terdapat interferensi performansi. Atau interferensi sistemis. Yang kedua ialah faktor kemampuan berbahasa yang akan mengakibatkan interferensi belajar muncul. Jika kita melihat dari segi unsur bahasa yang dikuasai terdapat interferensi progesif (interferensi terjadi dalam bentuk masuknya unsur bahasa yang sudah dikuasai ke bahasa yang dikuasai sebelumnya) dan interferensi regresif (masuknya unsur bahasayang dikuasai kemudian ke bahasa yang sudah dikuasai).




















BILINGUALISME DAN DIGLOSI
Awal terbentuknya bilingualisme terletak pada keberadaan masyarakat bahasa yang berarti masyarakat yang menggunakan bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dari masyarakat bahasa tersebut akan menjadi sebuah teori baru mengenai bilingualisme dan monolingual. Monolingual adalah masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa. Sedangkan bilingualisme menurut Nababan (1964:27) kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan. Penekanan bilingualisme disini terletak pada keadaan atau kondisi serta seorang penutur atau masyarakat bahasa. Bilingualisme sering juga disebut dengan kedwibahasaan. Sedangkan menurut Mackey bilingualisme bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan bahasa yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan. Bilingualisme memiliki dua tipe yang pertama bilingualisme setara yaitu bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses berfikir. Tipe yang kedua yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi disini ialah masuknya suatu bahasa kedalam bahasa yang lain. Faktor penentu yang menyebabkan bilingualisme ialah bahasa yang digunakan, bidang penggunaan bahasa, dan mitra berbahasa.
Diglosia menurut Ferguson yakni fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya. Memiliki tipe rendah dan tinggi, tipe tinggi biasanya berhubungan dengan agama, pendidikan , dan aspek budaya yang tinggi sedangkan ragam rendah digunakan di rumah, pabrik dan sebagainya. Berbeda dengan Ferguson, Fishman beranalisa bahwa diglosia mengacu pada penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda.diglosia dapat dipilah menjadi dua profil yakni diglosia pada masyarakat monolingual yang berasumsi fenomena pemilihan ragam bahasa seperti dialek dan register, dan diglosia pada masyarakat bilingual yaitu fenomena pemilihan dan penggunaan salah satu masyarakat bahasa sesuai dengan fungsinya. Landasan dalam diglosia ini ialah pertimbangan fungsi bahasa dalam menentukan pilihan bahasa diantara dua bahasa atau lebiih, bukan kebiasaan dan kemampuan menggunakan dua bahasa. Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu situasi pilihan bahasa dan situasi penggunaan varian bahasa. Situasi pilihan bahasa disini membandingakan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa tinggi dan bahasa rendah ditentukan oleh konteks dan situasi kebutuhan alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan.
Ada empat tipe hubungan antara diglosia dengan bilingualisme. (1) bilingualisme dengan diglosia, pada tipe itu dua fenomena penggunaan bahasa terjadi. Memiliki ciri yakni anggota masyarakat mengetahui situasi yang meuntut penggunaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya maupun dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan gengsi bahasa dan varian. (2) bilingualisme tanpa diglosia, memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial karena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat. (3) diglosia tanpa bilingualisme, tipe ini memiliki sebuah asumsi bahwa diantara penutur kelompok elite dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Mereka berinteraksi melalui penterjemah atau interpreter. (4) tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme tipe ini mengandalkan kemungkinan adanya masyarakat kecil, anggotanya sangat terbatas, sangat terpencil, dan egalitarian yang hanya memiliki satu bahasa dan satu ragam bahasa, serta tidak asa perbedaan peran yang dimainkan oleh gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa itu.



















HAKEKAT SOSIOLINGUISTIK
Setiap teori tentu memiliki sebuah landasan agar teori itu dapat dipercaya oleh orang yang hendak menganutnya, demikian juga dengan kajian sosiolinguistik. Dalam teori ini menurut para ahli sosiolinguistik memandang bahwa hakikat bahasa sebagai kajian objek mereka. Hakikat bahasa disini dapat dibagi menjadi dua yaitu interdisipliner dan disipliner. Interdisipliner memiliki sifat yakni makrolinguistik, kajian ini berorientasi pada factor eksternal bahasa. Setelah berkembang kajian interdisipliner lebih mengarah ke sifat dinamika. Sedangkan disipliner memiliki sifat mikrolingustik dan condong kearah sistem internal bahasa. Kajian bahasa memiliki sebuah perangkat yang terbagi atas langue dan parole dimana telah kita ketahui bahwa langue memiliki sifat abstrak dan parole bersifat kongkret. Keduanya akan membentuk dua asumsi dasar kajian bahasa yakni pertama, bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang dapat membentuk tata bahasa dan kedua, bahasa dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara cultural atau dipakai oleh sekelompok individu. Sistem tanda yang mengacu kepada kode ini memiliki dalil yaitu bahasa sebagai sistem komunikasi, bersifat sistematis maupun sistemis, bahasa anak terhadap bahasa pertamanya cukup lengkap. Sedangkan asumsi yang kedua mengarah ke kesejajaran dan korelasi ini juga memiliki suatu paham bahwa bahasa sebagai tingkah laku budaya manusia, didalam masyarakat tutur diperlukan adanya pembaruan, masyarakat tutur selalu ada reaksi subjektif terhadap variasi bahasa, di dalam masyarakat tutur dan masyarakat bahasa terdapat varian bahasa. Selain landasan dan perangkat asumsi kajian bahasa juga memiliki 4 tipe pemerian ilmiah yakni deduktif, probabilistic, fungsional dan genetic.
Perbedaan antara sosiolinguistik dengan linguistic ialah jika berdasarkan orientasi filosofis, sosiolinguistik menganut pahan nominalisme sedangkan linguistik lebih kearah realisme. Dari sistem bahasa sosiolinguistik bersifat terbuka, linguistic bersifat tertutup. Pada sifat bahasa sosiolinguistik bersistem yang heterogen sedangkan linguistic hanya homogen. Jika dilihat dari focus deskripsi, sosiolinguistik lebih memperhatikan fungsi bahasa dalam masyarakat sedangkan linguistic lebih mementingkan struktur. Dilihat dari data sosiolinguistik bisa berupa verbal dan non verbal sedangkan linguistic hanya verbal saja. Pada unit data sosiolinguistik berupa wacana sedangkan linguistic berupa kalimat. Berdasarkan pendekatan sosiolinguistik cenderung multidisipliner sedangkan linguistic kearah unidisipliner. Kesimpulan diatas pada kajian ini cenderung mengindahkan fungsi bahasa tersebut dalam peristiwa ataukegiatan social yang terjadi dalam masyarakat secara terpadu misalnya sistem social, stratifikasi social, diferensiasi social, mobilitas social dan pranata social.
Dimensi-dimensi yang terdapat dalam sosiolinguistik antara lain identitas social penutur dan mitra tutur entah dalam hal ini si mitra tutur mau penutur kebaradaannya segabai bawaan, usaha maupun pemberian. Tempat dan waktu terjadinya komunikasi (tempat dan waktu pembicaraan sangatlah berpengaruh terhadap pemilihan kode dan gaya bertutur seseorang), analisis sinkronik dan diakronik (diwujudkan dalam deskripsi pola-pola dialek social baik berdasar pada asal daerah, kelompok social, tingkat formalitas maupun berdasar pada perkembangan waktu), penilaian social terhadap bahasa (dimensi tersebut berhubungan dengan sikap bahasa yang terdiri atas kognitif, afektif dan kognititif), tingkat dan luasnya variasi bahasa (dari hal ini akan terlihat jelas bahwa keheteroginan bahasa sangatlah bisa terwujud, keheteroginan bahasa menyebabkan hadirnya variasi bahasa, ciri ini dibedakan menjadi multidialektal, multilingual, dan multisosietal), dan penerapan praktis yang merupakan bentuk kongkrit kontribusi dari hasil kerja sosiolinguistik.






















MODEL FUNGSIONAL DALAM SOSIOLINGUISTIK
Sebelum kita mengenal atau mendeskripsikan lebih jauh mengenai model-model yang terdapat dalam sosiolinguistik, hendaknya kita lebih mengerti terlebih dahulu definisi dari model itu sendiri. Model adalah Suatu representasi yang disederhanakan atau diidealkan terhadap sesuatu yang dianggap relevan dari system atau realita yang akan dideskripsikan. Dalam bidang sosial, model terbagi atas (1) model yang melukiskan sifat atau gejala tanpa mendeskripsikan huibungan antargejal tersebut, (2) model yang melukiskan hubungan antargejala. Namun model tersebut juga memiliki beberapa kelemahan, yakni : (1) terlalu banyak memberi tekanan kepada simbol sehingga seringkali tidak dapat menggambarkan suatu gejala dengan akurat, terutama dalam bidang kajian humaniora, (2) terlalu mementingkan bentuk dan keajegan, simplifikasi, dan menggambarkan gejala hanya sebagai peta sehingga cenderung gambaran yang diperoleh tidak tepat atau tidak akurat baik perihal konsep-konsep maupun hubungan antarkonsep yang digambarkannya. Jenis model berdasarkan fungsinya dibagi atas tiga tipe (deskriptif,prediktif dan normatif), berdasar ciri strukturnya (ikonik, analog dan simbolik), berdasar ciri waktu (statik dan dinamik), berdasar ciri pasti-tidak pasti (deterministik,probabilistik, dan tipe permainan) berdasar ciri umum-khusus (umum dan khusus), serta model cara lain yakni (fisik, semantik, dan model interpretatif). Model bahasa cenderung bertipe simbolik sehingga lebih kearah abstrak, selain itu model bahasa juga cenderung memanfaatkan bukti-bukti isomorfomis sehingga memudahkan pengkaji bahasa untuk memanipulasi variabel-variabel serta merevisi model itu sendiri. Dalam ilmu sosiolinguistik kajian bahasa cenderung mengarah pada perangkat tingkah lau oleh karena itu, Samsuri mengidentifikasi kartekteristik model dengan tiga kategori dasar yakni definisi bahasa, semestaan bahasa dan tingkat-tingkat keilmubahasaan. Model tradisional berkembang pada saat fisofof Yunani kuno. Menurut mereka, bahasa adalah tanda pikiran dan gagasaan, sedangkan kemestaan bahasa tidak terstruktur pada zaman ini, semua gagasan tentang bahasa haruslah taat pada azaz dan menyesuaikan diri dengan apa saja yang terdapat dalam bahasa Yunani kuno tersebut. Tingkat-tingkat keilmubahasaan terbatas pada tulisan, morfologi dan sintaksis. Model struktural berkembang karena adanya buku karangan Ferdinand de Saussure. Model ini menganggap bahasa adalah sebagai suatu lambang yang arbriter yang dipakai untuk menyatakan pikiran, perasaan dan keinginan untuk berinteraksi dan berkooperasi. Model transformasi menganggap bahasa adalah susunan unsur-unsur yang terbatas jumlahnya yang penyusunannya diatur oleh kaidah-kaidah yang terbatas pula jumlahnya, menjadi kalimat-kalimat yang secara teoritis dan praktis terbatas jumlahnya.
Model teori informasi digagas oleh Shanon dimana ia menjelaskan mengenai adanya repertoire (gangguan) bahasa dalam proses komunikasi. Selanjutnya ia membagi repertoire itu menjadi repertoire umum (linguistik) dan individual (nonlinguistik). Model Antropologis mengkaji hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Sapir menangkap bahwa dunia nyata dalam banyak hal memang dibentuk secara tidak sadar oleh kebiasaan bahasa yang ada dalam suatu kelompok tersebut. Selanjutnya Sapir menjelaskan bahwa bahasa adalah metode mengkomunikasikan gagasan-gagasan, emosi serta keinginan yang bersifat manusiawi murni dan non-instingtif dengan menggunakan sistem simbol-simbol yang dihasilkan secara sukarela. Pada model sosialogis dijelaskan bahwa struktur sosial, peran dan kode hadir bersama-sama dalam peristiwa komunikasi yang dapat berubah baik sesuai dengan masyarakatnya, interaksi sosialnya, maupun linguistiknya. Sedangkan model psikologis lebih mengacu mengenai tingkah laku individu di dalam atau di antara struktur-struktur sosial serta pada saat individu itu menjadi partisipan proses sosial. Beberapa temuan model fungsional diantaranya model Bright, kekomplekan pengembangan model ini menuntut kreativitas untuk mengisi karakteristik identitas pembicara, mitra tutur dan latar peristiwa tutur. Model Brown dan Gilman ini dipakai untuk mengkaji kata ganti kedua dalam sekelompok bahasa di Eropa. Latar belakang yang sebagai penghubung dari penggunaan kedua kata ganti tersebut ialah hubungan kekuasaan dan keakraban. Keduanya bersumber dari realitas psikososial yang terdapat dalam suatu masyarakat. Model Ervin-Tripp menerapkan kaidah alternasi (pemilihan variasi atau bentuk bahasa dalam bertutur), kaidah kookurensi (kaidah yang mengatur pemakaian variasi bentuk bahasa), dan kaidah sekuensi (kaidah urutan yang mengatur giliran bertutur dalam suatu peristiwa tutur tertentu). Hymes menganggap adanya komponen tutur yang mempengaruhi peristiwa tutur yakni setting, paticipants, end, act sequences, keys, intrumentalities, norms dan genre. Model SPEAKING ini berguna untuk memerikan gejala-gejala bahasa seperti alih kode, interferensi, undausuk, gejala bilingualisme. Model Fishman lebih fokus terhadap lingkungan , lingkungan diartikan sebagai konteks institusional. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan mkkonteks institusional disebut kongruen, sedangkjan penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan konteks institusional disebut inkongruen. Kontruk sosial dapat diabstraksikan dari berbagai konteks yakni topik, hubungan antarpenutur-mitratutur dan lokasi. Model Bernstein menggambarkan hubungan antara tatanan simbolik khususnya sistem tutur, dengan struktur sosial pada anak-anak kelas pekerja dan anak-anak kelas menengah. Selanjutnya Bernstein membedakan antara tutur terbatas dengan tutur terjabar. Sifat tutur terbatas cenderung tertutup, sehingga anak-anak dapat mengekspresikan ide dengan mengandalkan pada unsur suprasegmental seperti intonasi, metafora dan paralingua, sedangkan tutur terjabar lebih terbuka. Pengambilan keputusan keluarga berorientasi pada posisi dan pribadi. Sedangkan cara pengontrolannya dapat berupa modus perintah atau modus himbauan.











BAHASA DAN STRUKTUR SOSIAL
Perbedaan kompetensi berbahasa individu berhubungan erat dengan kompetensi komunikatif. Kompetensi komunikatif adalah kemampuan bertutur atau menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma berbahasa dalam masyarakat yang sebenarnya. Kompetensi komunikatif melibatkan kode bahasa. Kompetensi komunikatif berhubungan dengan kemampuan sosial dan kebudayaan pemakai bahasa yang dapat membantu untuk menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kemampuan komunikatif juga biasa disebut dengan repertoar bahasa. Repertoar bahasa yang dimiliki dan dikuasau oleh sekelompok pemakai bahasa auat masyarakat disebut masyarakat tutur. Menurut Fishman dan Labov masyarakat tutur berbeda dengan masyarakat bahasa. Ia menilai masyarakat dari segi kebudayaannya. Sedangkan para ahli lain lebih menyoroti mengenai kerja sama dan organisasi. Masyarakat tutur terbagi atas makro dan mikro, landasan terbentuknya karena adanya saling pengertian, dimensi sosial psikologi yang subjektif dan sikap serta kepercayaan para pemakai bahasa terhadap bahasa yang ada dalam masyarakatnya.
Sedangkan tipe masyarakat tutur itu sendiri lambat laun mengalami pergeseran dari faktor keturunan ke faktor pendidikan. Ada 4 pengklasifisian tipe masyarakat tutur yakni; berdasarkan pada perolehan dan kepandaian berbahasa antara lain masyarakat ekabahasa (monolingual), masyarakat dwibahasa (bilingual), dan masyarakat tutur multibahasa (multilingual). Berdasarkan strata sosial, masyarakat tutur terbagi atas lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Penyebab adanya lapisan sosial ialah sesuatu yang dihargai. Berdasarkan ciri perkembangan ada empat tipe masyarakat tutur yakni masyarakat primitif, desa tradisional, kota praindustri dan modern. Sedangkan berdasar kegiatan tutur komunikasi terbagi atas situasi tutur, peristiwa tutur dan tindak tutur.
Variasi bahasa ada segi internal dan eksternal. Internal itu bila kita berlandaskan faktor-faktor internal bahasa itu sendiri. Hal ini untuk menentukan kekerabatan bahasa, pencarian bahasa purba, pengelompokkan bahasa, asal bahasa dan migrasi bahasa serta bangsa pemiliknya, dan pengaruh timbal balik bahasa sekitarnya dari keserumpunan bahasa. Sedangkan variasi eksternal disebabkan adanya perbedaan struktur dan pranata sosial dan kemajemukan masyarakat, baik horizontal maupun vertikal. Tiga variasi yang bersumber dari variasi eksternal, ketiga sumber itu ialah (1) variasi interpersonal atau disebut juga variasi bebas. Variasi ini dapat menyajikan pilihan kode yang berkorelasi dengan karakteristik individu pemakainya. (2) variasi intrapersonal, variasi ini berdasar pada aspek-aspek dinamis penggunaan bahasa yang diakibatkan oleh situasi tertentu dalam interaksi. Terakhir ialah variasi inherent asumsinya bahwa bahasa seorang anggota masyarakat tutur terdapat dalam satu sistem, sedangkan variasi yang ada itu pada hakikatnya hanyalah representasi permukaan yang berbeda-beda kemunculannya akibat pengaruh kendala linguistik dan non-linguistik.
Kriteria dan wujud variasi bahasa berdasarkan penutur variasi bahasa memiliki sifai perorangan maupun kelompok. Bagi kelompok dapat dibagi lagi meliputi dialek areal, kronolek, dan sosiolek. Berdasar pada status, golongan dan kelas sosial ini varias bahasa terbagi atas akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon dan prokem. Berdasar pemakaian bahasa terbagi antara lain bidang pemakaian bahasa dan fungsi pemakaian bahasa kebakuan dan tidak bakunya suatu bahasa. Berdasar tingkat keformalan terdiri dari baku, resmi, usaha, santai, dan variasi akrab. Berdasar pada sarana dibagi menjadi dua yaitu ragam bahasa lisan dan tulis. Kajian tipe bahasa dapat berdasar pada dua asumsi kajian bahasa, yaitu kajian linguistic dan sosiologis. Kajian kedua itu disebut tipologi fungsional yang didasri oleh atribut sehingga membentuk sebuah parameter. Bagi parameter Stewart menggunakan atribut standarisasi, pemerian kenyataan, vitalitas, historitas, dan otonomi atau kemandirian.
Kajian fungsi bahasa seperti yang telah kita pelajari di kajian aliran linguistic, setiap ahli memiliki pandangan tersendiri. Secara global disini dapat kita simpulkan bahwa Berdasar pada penutur bahasa berfungsi emotif, berdasar mitra tutur bahasa berfungsi direktif, dalam hal kontak antara penutur dengan lawan tutur bahasa bersifat fatik, pada topic ujaran bahsa menganut paham referensial, bagian kode lebih condong kearah metalingual dan metalinguistik, serta di bagian amanat bahasa lebih bersifat imajinatif. Selain fungsi intern juga terdapat fungsi ekstern antara lain fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan, fungsi perorangan, dan fungsi pendidikan.















FUNGSI BAHASA DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
Sejarah bahasa Indonesia;
Bahasa indonesia adalah dialek kaku dari bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928 atas usulan Mohammad Yamin. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.tepatnya pada saat hari Kemerdekaan
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu “kami” dan “kita”. “Kami” adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan “kita” adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar adalah Subjek – Predikat – Objek-Keterangan (SPOK), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala/waktu (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, “kemarin” atau “besok”), atau indikator lain seperti “sudah” atau “belum”.Dan Bahasa Indonesia di atur dalam UUD 1945 pada pasal 36 yaitu “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Berdasarkan fungsinya bahasa Indonesia dibagi menjadi 5 fungsi;
1. Ekspresif
Contohnya;mampu menggungkapkan gambaran,maksud ,gagasan, dan perasaan.

2. Komunikasi
Contohnya; sebagai alat berinteraksi atau hubungan antara dua manusia dan sehingga pesan yang dikmaksudkan dapat dimengerti.

3. Kontrol sosial
contohnya; tulisan “dilarang merokok” bahasa tersebut berfungsi sebagai pengatur atau pengontrol

4. Adaptasi
Contohnya;bila kita berada di wilayah atau daerah yang asing atau diluar ibu kota, kita dapat menggunakan bahasa Indonesia tersebut sebagai alat untuk adaptasi dengan lingkungan baru tersebut.

5. Integrasi/pemersatu
Contohnya;bahasa-bahasa yang berbeda atau beraneka ragam dan dipersatukan oleh bahasa Nasional yang dapat dipakai di seluruh Indonesia yang menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.

Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional di ikrarkan pada 28 oktober 1928 yaitu hari “Sumpah Pemuda” yang memilki fungsi-fungsi sebagai;
1. Lambang identitas Nasional.
2. Lambang kebanggaan kebangsaan.
3. Bahasa indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Alat pemersatu bangsa yang berbeda Suku,Agama,ras,adat istiadat dan Budaya.
Hasil perumusan seminar polotik bahasa Nasional yang diselenggarakan di jakarta pada tangal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan berdasarkan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah;
1. Sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
4. Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 


FUNGSI BAHASA

Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi.  Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
4.1 Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku,  merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
-         agar menarik perhatian orang  lain terhadap kita,
-         keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada taraf  permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang  sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).
4.2 Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
4.3 Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
4.4 Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.







Bilingualisme Pada Anak
Kamis, 29 Mei 2008
Helyantini Soetopo
Orang tua mana yang tidak bangga bila putra-putri balitanya sudah 'cas-cis-cus' berbahasa Inggris atau berbahasa asing lain? Sebenarnya, hanya sedikit anak yang betul-betul bilingual. Sebagian besar anak hanya terampil menggunakan satu bahasa.
Para ahli mendukung pandangan yang menyatakan bahwa semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah bagi anak untuk menguasai bahasa asing tersebut. Dan masa paling ideal untuk mempelajari bahasa lain selain bahasa ibu adalah usia 6 - 12 tahun. Pasalnya, saat itu daya pikir anak berada dalam kondisi sangat plastis, sehingga kemampuan penyerapan bahasanya berfungsi otomatis. Cukup dengan melakukan self exposure pada bahasa tertentu, maka dengan mudah anak dapat menguasai bahasa asing tersebut.
Nah, agar orang tua dapat membimbing anak-anaknya menjadi anak bilingual, ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
1.Biasakan anak secara kontiyu terlibat dalam suasana berbahasa asing.
Anda bisa mulai dengan lagu-lagu anak, VCD (berisi cerita-cerita anak), CD-ROM (berisi kegiatan anak), atau buku cerita berbahasa asing.
2.Upayakan agar anak dapat berhadapan langsung dan mendengar secara teratur kalimat atau kata-kata asing .
Anda pun perlu menguasai simple words, seperti: good morning, good night-sweet dream, I love you, thank you, dan sebagainya. Komunikasikan kata-kata tersebut berdua dengan si kecil.
3.Biasakan anak dengan listening activity yang bersifat alamiah, yaitu kegiatan bermain sesuai minat dan perkembangan usia anak, yang dilakukan dalam bahasa asing.
4.Memasukkan anak ke lingkungan pra-sekolah yang memakai konsep bilingual. Pada umumnya, sekolah-sekolah jenis ini akan membiasakan anak mengenal, baik bahasa ibu maupun bahasa asing.
5.Memberi semacam les tambahan pada anak .
Kursus bahasa asing yang ideal untuk anak-anak balita tidak mengutamakan tindakan mengajar, melainkan bagaimana mengajar/membimbing anak untuk mengenal dan menguasai suatu bahasa asing.







November 19, 2005 (3:04 PM)
Bangsa dunia menilai kemajuan peradaban suatu bangsa salah satunya adalah melalui ketinggian bahasanya. Bahasa yang kompleks dari segi Grammatik dan Morfologi sebuah kata mencerminkan bahwa bangsa itu memiliki ketinggian peradaban dan menunjukkan kecerdasan bangsa tersebut. Sebagai contoh bahasa yang bisa dikatakan tinggi adalah bahasa jerman, arab, cina dan jepang. Bagaimana dengan bahasa indonesia ?
Bahasa Indonesia sendiri lahir pada zaman dimana bahasa ini dipergunakan sebagai bahasa perdagangan antar bangsa, istilah yang kita kenal adalah ''Lingua Franca''. Bahasa yang beribu dari rumpun bahasa melayu yang berasal dari Tanah Riau, telah disahkan secara nasional oleh kita sebagai Bahasa Pemersatu dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Sudah sekian lama bahasa ini menjadi kebanggan bangsa kita.
Namun sayangnya Bahasa Indonesia banyak memiliki kelemahan, terutama terlalu mudah dipelajari dan tidak kompleks aturan-aturan tata bahasanya, terutama permasalahan grammatik, morfologi, dan bahkan perbendaharaan katanya yang sedikit. Tak heran bahasa indonesia sejalan dengan waktu terjajah oleh bahasa asing.
Banyak istilah-istilah asing yang tadinya menambah koleksi kata bahasa indonesia - terutama istilah di bidang eksak (IPTEK) - malahan kini merambah hingga bahasa pergaulan kita sehari-hari. Dan banyak istilah asing ini dipergunakan secara liar, jauh dari definisi asal sebenarnya. Oleh karena itu terjadi kerancuan. Bisa jadi saya dan anda -jika kita mendapatkan salah satu istilah asing- pengertian kita masing-masing berbeda. Lalu ada istilah asing yang definisi hanya satu, tapi kita generalisasikan. Akhirnya tadinya kita bermaksud menggunakan istilah itu untuk menggambarkan apa yang kita ingin ungkapkan, malah sama sekali istilah itu tidak cocok dipakai pada ungkapan itu. Padahal semestinya ada istilah asing yang lain yang lebih cocok dipergunakan pada ungkapan tersebut.
Tak bisa dipungkiri juga, seringnya kita mempergunakan bahasa asing malah menggeser nilai identitas keindonesiaan, dan bahkan nilai kesatuan kita. Pada saat kita berbicara kepada seseorang yang berasal dari daerah lain, sudah pasti kita menggunakan bahasa indonesia. Namun karena bahasa indonesia yang telah terpengaruhi oleh istilah asing dan istilah asing tersebut kita pakai pada saat perbincangan tersebut, malah bisa menimbulkan kesalahpahaman. Tiba-tiba orang yang diajak bicara menjadi marah, karena bisa jadi dia tidak mengetahui dengan pasti istilah yang kita pergunakan - bisa jadi dia tidak tahu artinya atau bisa jadi salah mengartikan-. Justru inilah yang menjadi salah satu sumber perpecahan kita. Ternyata semakin berkembangnya bahasa indonesia dengan perbendaharaan kata asing tidak sejalan pelaksanaannya di lapangan di seluruh pelosok tanah air.
Dan ternyata juga penggunaan bahasa asing ini lebih digunakan dalam pergaulan orang-orang kota besar, terutama di Jakarta. Orang-orang kota besar memang identik mempergunakan istilah-istilah asing - supaya tampak ''keren'' dan terkesan ''highclass'' -. Beda dengan kota selain Jakarta yang masih tercampur dengan logat bahasa daerahnya.
Salah satu jalan untuk mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Persatuan adalah dengan cara memberi kesempatan kepada keragaman dan kekayaan bahasa daerah di tanah air untuk menambah perbendaharaan kata bahasa indonesia. Jika ada kata yang tidak dikenal atau tidak ada istilah bahasa indonesianya, sudah selayaknyalah kita merujuk kepada perbendaharaan kata bahasa daerah, bukan bahasa asing. Selain bahasa rumpun melayu (Sumatera dan Kalimantan) contoh yang bisa dijadikan rujukan adalah kerumitan tata bahasa dan ketinggian bahasa jawa yang berbeda tiap kasta-kasta, beragamnya bahasa sunda, bahasa batak dan mentawai, bahasa bugis dan makassar, bahasa maluku, dayak, papua, flores bisa memperkaya bahasa indonesia. Dengan partisipasi dari bahasa daerah inilah justru timbul rasa turut ikut mendukung dan mewakili kekayaan dan ketinggian bahasa indonesia, serta terutama juga akan timbul rasa sama-sama memiliki bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Inilah yang bisa menjadi salah satu solusi mempersatu bangsa kita. Hal yang kecil namun pengaruhnya besar bagi bangsa kita secara keseluruhan dari Sabang sampai Merauke.
Apakah pendapat saya tidak ''open minded'' atau tidak sejalan arus globalisasi dunia tanpa batas karena menolak penggunaan istilah asing ? Pertanyaan balik saya adalah, kita akui bahwa Bahasa Inggris sudah menjadi Bahasa Internasional. Tapi mengapa bahasa inggris tetap disebut sebagai bahasa inggris ? Kenapa tidak disebut Bahasa Dunia ? Apakah bahasa inggris telah mewakili bahasa di dunia ? Walau bahasa inggris pun juga menambah perbendaharaan katanya dari bahasa asing lain, namun terbatas mengambil seputar bahasa-bahasa Eropah (Jerman, Italia, Latin, Perancis dan Belanda), terutama untuk perbendaharaan kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Namun untuk istilah-istilah bahasa lain terutama Bahasa Asia hanya memperkaya pembendaharaan kata bendanya saja, dan hanya menunjukkan benda yang memang berasal dari Asia, semisal: 'Origami', 'Sushi', 'Sari', 'Kung Fu', 'Islam', 'Batik', 'Kampoeng', 'Saroeng', 'Nasi Goreng', 'Sate/Satay', 'Sambel Oelek' dan lain-lain. Walau dipakai tapi hanya pada saat tertentu saja. Saya belum pernah mendengar Bahasa Afrika diserap oleh bahasa inggris kecuali untuk istilah alat musik tertentu yang tidak terdefinisikan. Apakah ini 'open minded' ? Apakah ini sejalan globalisasi ?
Justru dengan memberikan kesempatan bahasa daerah memperkaya bahasa indonesia, maka bisa jadi bahasa kita bisa digolongkan kedalam bahasa dunia dan juga ikut memperkaya suatu bahasa yang akan menjadi bahasa dunia kelak dalam rangka mempersatukan dunia. Walau serapan kata daerah pada awalnya terdengar lucu, bisa jadi 5 hingga 10 tahun kedepan malah telinga kita semakin terbiasa dengannya. Padahal pada saat kita menyerap istilah asing adakalanya kita merasa tergelitik memakai istilah tersebut, namun lama kelamaan malah diterima. Oleh karena itu kalau kita tidak bisa memelihara bahasa indonesia dengan memperkayanya, maka tidak lama lagi bahasa indonesia hanya tinggal kenangan saja dan hanya menjadi ''objek museum''.
Aneh saya rasa, bagi kita yang masih menganggap pemakaian istilah asing akan menunjukkan kecerdasan seseorang dan menggunakan istilah indonesia akan terasa 'kampungan'. Padahal dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan bahasa-bahasa daerah kita justru menunjukkan ketinggian peradaban bangsa kita. Seperti anggapan bangsa dunia terhadap ketinggian bahasa suatu bangsa yang saya ceritakan pada awal artikel ini.

-saya yang sedang belajar di jerman, yang masih sulit menguasai kerumitan bahasa jerman-

nb: Mohon maaf apa yang saya utarakan apa adanya dan ternyata juga terdapat istilah-istilah asing :). Maklum, saya hanya seorang arsitek yang sudah terbiasa memakai istilah-istilah tersebut dalam dunia akademis dan kerja yang juga saya mempelajarinya melalui sekolah-sekolah.
Dan maklum, kalo tulisan saya juga tidak tersusun rapih, karena saya sedang belajar menulis.
Melalui tulisan ini, saya hanyalah prihatin dengan nasib kesatuan bangsa kita dan terutama nasib Bahasa Indonesia kita.
Oleh sebab itu saya mohon bagi yang berkepetingan dan ahli di bidang bahasa indonesia, tulisan ini bisa menjadi masukan bagi anda sekalian.

(Huruf pada gambar adalah huruf LONTARA dari Makassar yang juga mendapat pengaruh huruf-hurf palawa dari kebudayaan india. Huruf ini pernah saya pelajari sewaktu tinggal di Ujung Pandang dalam mata pelajaran Bahasa Daerah).















BAHASA DAERAH SEBAGAI SARANA MEMBERANTAS
BUTA AKSARA

Rabu, 27 Februari 2008 14:41:35
Oleh arif
Sebagai bahasa yang pertama dipelajari di lingkungan keluarga, bahasa daerah memainkan peran penting dalam proses pendidikan anak bangsa. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran aksara untuk para penyandang buta aksara. Bahasa daerah bermanfaat sebagai sarana memberantas buta aksara.

"Ada kecenderungan penyandang buta aksara tidak menguasai bahasa Indonesia. Namun, pada jenjang pembelajaran keaksaraan selanjutnya perlu diarahkan penggunaan bahasa pengantar bahasa Indonesia," kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono pada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008 di Gedung Depdiknas, Jakarta, Senin 25 Februari 2008 .

Hadir dalam acara Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (Ka KNIU) Arief Rahman, Duta Besar Bangladesh Salma Khan, Duta Besar Sri Lanka Nanda Mallawaarachchi, serta perwakilan dari India dan Pakistan.

Dendy mengatakan, wawasan dan pengetahuan tentang aksara yang telah dipelajari harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, lanjut dia, diperlukan pembinaan pascabelajar aksara. "Pembinaan dapat dilakukan melalui pengekalan kelompok-kelompok belajar dengan kelanjutan aktivitas belajar melalui membaca dan menulis," katanya.

Sabbir Ahmed, Asisten Profesor Bidang Politik Universitas Dhaka Bangladesh, menyampaikan, pemberantasan buta aksara di negaranya dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. Adapun targetnya, kata dia, terutama bagi anak-anak pribumi yang putus sekolah dan miskin. "Mereka tidak menyelesaikan belajar, mereka putus sekolah karena tekanan ekonomi keluarga. Anggota keluarga menginginkan anaknya mencari uang," katanya.

Sabbir mengatakan, saat ini terdapat sebanyak 14.289 pelajar pribumi belajar di 928 sekolah nonformal. Adapun penduduk etnis minoritas di Bangladesh sebanyak 1,2 juta orang dari seluruh populasi penduduk sebanyak 150 juta orang. Kegiatan belajar yang dimulai sejak Oktober 2001 difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC).

Anju Ranjan, Sekretaris II Bidang Informasi Politik dan Pendidikan Kedutaan Besar India, menyampaikan, India merupakan negara besar yang memiliki sebanyak 18 bahasa daerah. Bahasa ibu, kata dia, diajarkan sejak jenjang sekolah dasar (primary level). Selanjutnya, pada jenjang sekolah menengah (secondary level) mulai dikenalkan bahasa Inggris dan salah satu bahasa daerah yang lain. "Siswa diminta memilih salah satu bahasa daerah India," katanya.

Lebih lanjut, Anju mengatakan, di India terdapat lebih dari seribu dialek. Pemerintah India mempromosikan pendidikan menggunakan dialek bahasa India, khususnya di daerah pedesaan. "Kebijakan nasional pendidikan menekankan pada jenjang primary level, memelihara bahasa ibu, dan memperlakukan semua bahasa lainnya sederajat," katanya.

Sumber : setjen.depdiknas. go.id (Gim) 



































Bahasa Daerah Perlu Diperdakan
SUNDAY, 12 SEPTEMBER 2010 00:00
Oleh : Antonius Maturbongs
Jubi --- Bahasa daerah kini telah menjadi bagian penting dalam era Otonomi Khusus Papua. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas pengakuan hak-hak daerah termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap bahasa daerah. Tentu kondisi ini harus segera diantispasi dengan paradigma baru kebijakan di bidang pelestarian bahasa, yakni (1) pemberdayaan masyarakat tutur, (2) penyadaran jatidiri, dan (3) integrasi pengajaran di bidang pendidikan.
The Summer Institute of Linguistic, dalam publikasi mutakhirnya (2006), menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa. Di Tanah Papua terdapat jumlah terbesar yakni 280 bahasa. Sementara menurut Pusat Bahasa (Balai Bahasa Jayapura) yang telah bekerja untuk mengumpulkan data bahasa daerah di Papua dan Papua Barat bahwa telah diidentifikasi ada 270 bahasa daerah (data yang baru dikumpulkan) dan masih akan bekerja hingga Tahun 2014. Para pemerhati bahasa mengkhawatirkan kelestarian bahasa daerah karena semakin berkurang penuturnya. Kekhawatiran ini senada dengan perkiraan UNESCO bahwa pada abad ke-21 ini separuh dari enam ribu bahasa yang ada di dunia ini terancam punah (Tempo, 21 Februari 2007). Menurut data UNESCO, saat ini terdapat sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya Bahasa Hindi, Arab, Mandarin, Perancis, Spanyol dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa mayoritas.
Kurang dari 10% dari total penduduk dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan di Kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61%nya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik dan 726 lebih diantaranya dipakai di wilayah Indonesia.
Sangat tragis, kepunahan yang dialami bahasa-bahasa ibu tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan, baik segi ekonomi, sosial, politik, maupun psikologis (Prof. Dr. Zainuddin Taha, Republika: 30 Mei 2007). Di Indonesia selama dua dekade ini kita melihat semakin banyak penutur bahasa daerah, terutama di perkotaan, beralih menggunakan Bahasa Indonesia (language shift) yang dari sisi manapun vitalitasnya dari waktu ke waktu semakin menguat. Kegandrungan orang terhadap bahasa asing pun semakin meningkat, terbukti semakin menjamurnya tempat-tempat kursus bahasa asing. Barangkali kita belum pernah menemukan tempat kursus bahasa daerah yang dikelola secara profesional.
Pada awalnya Bahasa Indonesia digunakan sebagai jembatan antaretnis, sebagai perekat persatuan bangsa, dan alat untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di ranah pendidikan. Namun, kemudian penggunaan Bahasa Indonesia merambah ke ranah pergaulan sehari-hari, sehingga mereduksi penggunaan bahasa daerah. Bahasa daerah dianggap tidak memiliki kemampuan menjadi media penyampaian ilmu pengetahuan. Penggunaan bahasa daerah dianggap akan menghambat transfer ilmu pengetahuan. Padahal sejak 1951 UNESCO sudah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan dengan alasan (1) secara psikologis, bahasa ibu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir, (2) secara sosial, bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya, (3) secara edukasional, pembelajaran dengan media bahasa ibu mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di sekolah dan proses pendidikan pada umumnya (Alwasilah, 2003:64).
Pewarisan bahasa ibu orang tua ke generasi selanjutnya yang tak berjalan dengan mulus turut memperlemah posisi bahasa daerah. Banyak orang tua terutama keluarga muda enggan mewariskan bahasa pertamanya, sehingga anak-anak merasa kikuk ketika berbicara bahasa daerahnya. Banyak orang tua keluarga muda menganggap bahasa daerah tak terlalu penting untuk anak-anaknnya sebagai bahasa ibu. Tarigan (1988:32) memandang sikap orang tua terhadap bahasa sendiri turut menentukan sikap dan keputusan mereka terhadap masalah kedwibahasaan putra-putrinya. Pada dasarnya, ide yang disampaikan bertujuan untuk menghindari peluang kepunahan bahasa daerah dan sebaliknya, memberi ruang kepada bahasa daerah untuk tetap hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat pemakainya. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Tahun 2001, Bab XVI tentang Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 58 ayat (1),(2) dan (3).
Ada dua ide  penting untuk menjadikan bahasa daerah tetap lestari. Pertama, bahasa daerah diupayakan menjadi salah satu muatan lokal di tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga SMA.Kedua, bahasa daerah dapat dilindungi melalui peraturan daerah (perda). Ide yang pertama menghendaki agar bahasa daerah menjadi salah satu muatan lokal dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua. Dengan begitu, Dinas Pendidikan di setiap daerah di Tanah Papua dapat menambahkan pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan.
Ide pertama di atas masih memiliki beberapa kekurang-an. Antara lain, pertama, pelestarian dan pengembangan bahasa daerah hanya terbatas pada saat siswa berada di lingkungan sekolah. Kedua, dikhawatirkan jika terjadi pergantian pimpinan di lingkup dinas pendidikan, maka akan berganti pula kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan sebelumnya. Ketiga, materi bahasa daerah yang telah diajarkan di sekolah-sekolah dinilai belum mampu meningkatkan kualitas pemakaian bahasa daerah. Keempat, kualitas sumber daya tenaga pengajar yang belum memenuhi persyaratan yang tepat untuk mengajarkan bahasa daerah.
Mempertimbangkan berbagai kelemahan pada ide pertama, maka perlu diupayakan ide lain yang untuk melengkapi ide pertama. Ide baru tersebut harus mampu menguatkan posisi bahasa daerah, baik dari segi pemakaiannya di masyarakat maupun pada upaya-upaya untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah.  Ide kedua yaitu perlu adanya peraturan daerah sebagai salah satu upaya pelestarian dan perlindungan bahasa-bahasa daerah di Tanah Papua. Untuk itu,  perlu dibuat peraturan daerah yang dapat menaungi pelestarian bahasa daerah. Mengapa harus perda? Jawabannya, perda memiliki kekuatan hukum yang tetap dan bersifat memaksa. Peraturan daerah berisikan langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis, sehingga memudahkan sosialisasi kepada masyarakat.
Payung hukum itu bersifat mengikat, karena berisikan langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis, sehingga memudahkan sosialisasi kepada masyarakat, terutama melalui pendidikan formal.
Keinginan masyarakat untuk melindungi bahasa daerah melalui peraturan daerah merupakan keinginan yang sangat positif. Akan tetapi, perumusan sebuah perda harus memiliki acuan hukum yang  memungkinkan Perda tentang bahasa daerah tersebut dibutuhkan oleh pemerintah. Dalam merancang perda, pemda terlebih dahulu menetapkan beberapa dasar hukum yang memungkinkan perda tentang bahasa daerah dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat. Dasar hukum yang diacu, baik undang-undang ataupun peraturan pemerintah, harus memiliki keterkaitan yang erat dengan rencana perda yang akan dirancang dan ditetapkan.  Untuk memenuhi aspek dasar hukum lahirnya perda tentang bahasa daerah, pemerintah daerah dapat menjadikan pasal-pasal Undang-Undang Kebahasaan yang terkait dengan kedudukan bahasa daerah sebagai dasar hukum yang memungkinkan lahirnya Perda tentang bahasa daerah. Jika sebuah rancangan perda telah memiliki payung hukum yang mendasari kelahirannya, maka salah satu aspek hukum yang wajib ada dalam sebuah rancangan Perda, telah terpenuhi.
Penulis adalah Pemerhati Bahasa-bahasa Daerah di Tanah Papua dan bekerja sebagai Kabid Bahasa dan Sastra Daerah, Balai Bahasa Provinsi Papua